Berawal dari pengumuman pengubahan pada akhir tahun 2020 itu, Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan memberi catatan terhadap sosialisasi yang digelar Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI. Dalam catatannya, Koalisi mengingatkan, masih banyak aspek kebijakan narkotika di dalam negeri yang genting untuk dibenahi.
Masalah tersebut di antaranya, soal terlampau beratnya penggunaan pemidanaan pada kasus-kasus narkotika yang menjadi akar masalah rutan-lapas yang kelebihan muatan. Termasuk, penggunaan kampanye buta perang terhadap narkotika (war on drugs) yang memicu terjadinya pelanggaran HAM, contohnya penangkapan-penahanan sewenang-wenang, penjatuhan hukuman mati tanpa jaminan fair trial, dan lain lain.
Masalah ini juga telah banyak disoroti melalui laporan-laporan lembaga PBB khususnya yang melakukan monitoring pada pemenuhan HAM. Untuk itu, sebagai langkah persiapan untuk mengajukan sebagai anggota CND, Koalisi mendorong agar Pemerintah Indonesia perlu fokus untuk memperbaiki arah kebijakan narkotika nasional ke depan.
Catatan tersebut disampaikan Koalisi saat Pemerintah memberikan sosialisasi yang digelar secara webinar atas inisiasi Kemenlu RI.
Kegiatan yang melibatkan BNN, Kementerian Kesehatan, dan akademisi dari Sekolah Farmasi ITB sebagai panelis ini
Dalam agenda sosialisasi tersebut, Kemenlu yang diwakili Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata, Rolliansyah Seomirat, menyampaikan respon Pemerintah Indonesia terhadap perubahan kebijakan scheduling cannabis tersebut.
“Pemerintah Indonesia bersikeras untuk tidak mengikuti perubahan kebijakan PBB tersebut dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 39 Konvensi Tunggal Narkotika,” kata Rolliansyah Seomirat yang mewakili Kemenlu dalam sosialisasi.
Dalam ketentuan tersebut, negara anggota memang diperbolehkan mengambil langkah lebih ketat dalam mengatur listing penggolongan narkotika. Namun, secara spesifik yang disebutkan sebagai referensi adalah untuk narkotika pada Schedule II dan preparations pada Schedule III.
“Ketentuan tersebut juga menekankan keputusan mengatur secara lebih ketat hanya dapat dilakukan sepanjang untuk melindungi kepentingan kesejahteraan masyarakat/kesehatan masyarakat,” tuturnya.
Namun kemudian, ketika berakibat sebaliknya, yakni terjadi pengabaian pada pemenuhan hak atas kesehatan masyarakat seperti yang saat ini terjadi dalam konteks di Indonesia. “Tentu hal ini menjadi tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan dalam pengaturan Pasal 39 Konvensi Tunggal Narkotika tersebut,” urainya.
Pada aspek lain, Kemenkes menyatakan saat ini sedang menyusun Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) yang khusus mengatur soal penelitian mengenai tanaman ganja. Direktur Produksi dan Distribusi Kefarmasian Kemenkes, Agusdini Banun Saptaningsih menekankan, Permenkes tersebut bertujuan melegalkan tanaman ganja untuk penelitian.
“Sampai dengan hari ini memang belum ada penelitian yang dilakukan dengan menggunakan tanaman ganja secara fisik,” tambah Agusdini Banun.
Hal ini juga diperkuat pernyataan akademisi Farmasi ITB, Rahmana Emran Kartasasmita. Menurutnya, selama ini penelitian mengenai ganja juga baru dilakukan sebatas simulasi aplikasi pada komputer, belum secara eksperimental di laboratorium. Dengan demikian, penelitian yang sebelumnya menyatakan kandungan tanaman ganja di Indonesia memiliki THC lebih tinggi sehingga tidak cocok untuk digunakan sebagai obat, menjadi dipertanyakan kualitas penelitiannya.
“Sebab, penelitian tersebut dapat dipastikan juga tidak menggunakan zat dari tanaman ganja secara fisik dan oleh karenanya peer review terhadap penelitian sangat diperlukan untuk menyoroti, apakah secara metodologi penelitian dapat dibenarkan untuk menghasilkan kesimpulan yang demikian,” jelasnya.
Terakhir, Kemenlu juga BNN sempat menyatakan akan mendorong Indonesia untuk kembali menjadi anggota Commission on Narcotic Drugs (CND) periode 2024-2027. “Koalisi tentu mendukung agar Indonesia sebagai bagian dari komunitas internasional dapat berkontribusi dan terlibat aktif dalam perumusan kebijakan narkotika secara internasional,” ujarnya.(@BudiRht’71DERAP.ID)