Derap.id | Banyumas – Upaya mediasi antara keluarga korban dugaan penganiayaan santri di Pondok Pesantren (Ponpes) di Kecamatan Kebasen, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah dengan pihak pesantren yang difasilitasi oleh Klinik Hukum Peradi SAI Purwokerto pada hari Senin, 10 November 2025, berakhir tanpa kesepakatan.
Orang tua korban GSA (17), Suparjo, menyatakan pihaknya tetap akan melanjutkan proses hukum karena belum melihat adanya itikad baik dari pihak pelaku maupun keluarganya.
“Pihak ponpes sebenarnya ingin persoalan ini selesai secara kekeluargaan. Tapi selama dua-tiga hari ini kami belum melihat rasa bersalah dari pelaku. Kami sebagai orang tua tetap berharap kasus ini diproses hukum,” ujar Suparjo kepada media usai mediasi di Klinik Hukum Peradi SAI Purwokerto, hari Senin 10 Nopember 2025.
Suparjo juga menyebut belum ada permintaan maaf atau komunikasi langsung dari keluarga pelaku kepada pihaknya.
“Selama ini tidak ada yang menghubungi kami, baik dari pelaku maupun keluarganya. Sekolah juga menyerahkan keputusan pada kami kalau memang keberatan, silakan diproses hukum,” tambahnya.
Berita sebelumnya:
Santri PP Andalusia Laporkan Seniornya ke Polresta Banyumas atas Dugaan Penganiayaan
Kuasa Hukum: Kasus Tetap Berlanjut
Kuasa hukum korban dari klinik hukum Peradi SAI Purwokerto, H. Djoko Susanto, S.H., membenarkan bahwa mediasi tidak menghasilkan kesepakatan.
Menurutnya, pihak pesantren telah mengakui adanya kesalahan dan meminta mediasi, namun keluarga korban tetap ingin kasus dilanjutkan demi keadilan.
“Sudah ada pengakuan dari pelaku dan permintaan maaf. Namun karena korban masih di bawah umur dan mengalami kekerasan fisik, keluarganya merasa hal ini tidak bisa diselesaikan begitu saja. Mereka ingin kasus tetap diproses hukum agar menjadi pembelajaran bagi semua lembaga pendidikan,” jelas Djoko Susanto.
Ia menegaskan, semua lembaga pendidikan dan pesantren wajib melindungi anak di bawah umur, bukan justru membiarkan tindak kekerasan terjadi.
“Kita tidak pilih kasih. Ini bukan soal lembaganya, tapi soal perlindungan anak. Hukum harus ditegakkan untuk memberikan efek jera,” tegasnya.
Menanggapi pihak ponpes yang disebut keberatan dengan pemberitaan di media, Djoko menegaskan bahwa media memiliki peran publik sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Kalau memang merasa dirugikan, silakan gunakan hak jawab. Media berhak memberitakan peristiwa yang faktual. Tidak perlu ada yang disalahkan kalau pemberitaan itu sesuai fakta,” ujarnya.
Sementara itu, Kuasa Hukum Ponpes Andalusia Kebasen, Untung Waryono, SH usai pertemuan dengan pihak orang tua korban, enggan menyampaikan keterangannya terkait hasil dari mediasi itu.
“No komen,” kata Untung Waryono, SH.
Hal senada juga disampaikan oleh perwakilan Ponpes Jito setelah selesai mediasi.
Berita sebelumnya:
Santri PP Andalusia Laporkan Seniornya ke Polresta Banyumas atas Dugaan Penganiayaan
Kronologi Kejadian
Sebelumnya diberitakan, seorang santri Ponpes Andalusia berinisial GSA (17) diduga menjadi korban penganiayaan oleh dua seniornya, RYN (20) dan DVN (19) pada hari Jumat, 7 November 2025.
Akibat kejadian itu, korban mengalami luka lebam di bawah mata dan bibir pecah.
Insiden bermula saat korban hendak mengambil uang kembalian dari penjual ketoprak di depan pondok.
Karena gerbang akan ditutup, korban berlari agar bisa masuk tepat waktu.
Namun, tindakan itu dianggap pelanggaran oleh pengurus keamanan pondok.
“Saya langsung dipanggil dan dipukul menggunakan peci hingga bibir saya pecah. Setelah itu, saya dibawa ke ruangan tertutup dan dipukuli lagi oleh senior lain,” ungkap GSA.
Korban kemudian melapor ke Polresta Banyumas pada hari Sabtu malam, 8 November 2025, didampingi kuasa hukum dari Peradi SAI Purwokerto.
Berita sebelumnya:
Santri PP Andalusia Laporkan Seniornya ke Polresta Banyumas atas Dugaan Penganiayaan
Laporan Polisi dan Pasal yang Disangkakan
Kuasa hukum korban, Eko Prihatin, S.H., menyampaikan laporan telah diterima oleh SPKT Polresta Banyumas.
“Laporan sudah diterima dan korban telah mendapatkan Surat Tanda Penerimaan Laporan Pengaduan (STPL). Kami menunggu proses penyelidikan dari kepolisian,” ujarnya.
Kasus tersebut diduga melanggar Pasal 170 KUHP dan Pasal 262 UU No. 1 Tahun 2023 tentang pengeroyokan, serta Pasal 351 KUHP dan Pasal 466 UU No. 1 Tahun 2023 tentang penganiayaan.
Meskipun para pelaku telah mengakui perbuatannya dan meminta maaf, keluarga korban menegaskan akan terus memperjuangkan proses hukum hingga tuntas.
“Kami ingin ini menjadi pelajaran agar tidak ada lagi kekerasan di pesantren. Anak kami butuh keadilan,” tutup Suparjo. (wd)
