DERAP.ID | Surabaya – Warga dolly gelar aksi demo didampingi oleh Komunitas Pemuda Independen (KOPI) dan Front Pekerja Lokalisasi (FPL) untuk memperjuangkan tuntutan warga yang merasa tidak terpenuhi haknya oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya.
Aksi tersebut juga mendapat saingan aksi demo penolakan yang juga dari warga dolly dengan di dampingi oleh ormas Banser dan GP Anshor di depan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. (03/09/18)
Dalam tuntutannya, warga dolly melalui KOPI dan FPL tidak ingin membuka prostitusi kembali di daerah Jarak Dolly. Mereka hanya menginginkan Pemkot Surabaya melakukan pemulihan ekonomi akibat ditutupnya bisnis proatitusi di area Dolly.
Menurut salah satu koordinator pendemo (KOPI), semua yang digembar gemborkan Pemkot Surabaya melalui Walikota Risma tidak terbukti sama sekali. Mulai dari home industri batik, sepatu atau keripik tidak menyerap banyak pekerja.
“Tidak ada itu katanya home industri menyerap banyak warga, hanya segelintir saja. Lha terus dana yng sudah ada dikemanakan?”, ujar nara sumber yang tidak mau disebutkan namanya tersebut.
Setelah melayangkan beberapa kali somasi dan audensi ke Pemkot dan DPRD Surabaya dan tidak direspon, akhirnya kasus ini diajukan ke PN Surabaya. Disamping gugatan class action sebesar 270 miliar rupiah dan tindak pidana korupsi, pendemo juga menuntut adanya upaya hukum pidana kejahatan hak asasi manusia (HAM).
Terpisah, kubu pendemo yang didampingi ormas Banser dan GP Anshor dalam surat penolakan menyebutkan bahwa gugatan yang dilayangkan 12 orang tersebut hanyalah untuk kepentingan pribadi penggugat. Terbukti dari 12 penggugat tersebut adalah pemilik usaha rumah karoke di daerah Jarak Dolly.
Menurut Supadi, yang juga Ketua RT di daerah dolly mempertanyakan KTP para pendemo yang mengatas namakan warga dolly tersebut. Lebih lanjut Supadi mengatakan bahwa memang benar adanya bahwa didaerah dolly banyak home industri yang jumlah tenaga kerjanya ditaksir sekitar 100 orang. “Coba sampean tanya mereka, KTP nya orang mana itu, kami semua tidak kenal. Orang luar semua itu. Di dolly itu banyak home industrinya, hampir 100 orang tenaga kerjanya. Itu ketua home industrinya.” kata Supadi sambil menunjuk satu per satu ketuanya.
Perlu diketahui, adanya aksi penolakan ini dilakukan karena warga tidak ingin adanya kebangkitan prostitusi kembali. Mereka merasa dengan adanya penutupan prostitusi di Jarak Dolly warga sudah merasa aman, nyaman dan tenteram.
Akhirnya beberapa perwakilan pendemo (KOPI dan FPL), dipersilahkan masuk untuk mediasi dengan pihak Pengadilan Negeri Surabaya yang di wakili oleh Humas PN Sigit Sutrisno. (anton)