DERAP.ID | Surabaya – Tapak Tilas wisata religi Walisongo yang ada di Madura dilakukan warga Tambak Asri gang Angker.
Kepulauan Madura sebagai sebuah daerah yang juga kerap kali disambangi para wisatawan, baik dari lokal maupun berbagai daerah di belahan Nusantara akan kekentalan sejarah penyebaran Agama Islam. Penyebaran Agama Islam di kepulauan Madura ini konon menurut keterangan dari mulut ke mulut sejarah dalam penyebaranya setara dengan penyebaran para Waliyullah yang di kenal dengan sebutan Walisongo.
Melegendanya mulai dari para Raja-raja berserta keturunannya dan para ulama besar di kepulauan Madura saat penyebaran Agama Islam, sehingga sampai – sampai penyebaran tersebut diklaim oleh para warga se-Madura setara atau setingkat para wali yang artinya penyebaran Agama Islam di kepulauan Madura pola dan cara saat menyebarkan Agama Islam mengerucut berpedoman Rahmatan Lil’alamin seperti yang dilakukan para Walisongo.
Dari informasi melegendanya tentang Waliyullah Madura saat penyebaran Agama Islam di kepulauan Madura ini, menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan para Wisatawan Religi, khususnya warga Tambak Asri atau dengan julukan Kampung Gang Angker.
Wisata Religi ini di akomodir oleh Hj. Daimah berserta suaminya yakni H. Sukijan dan di dampingi Ainul Rofik anak pertama dari Hj. Daima dan H. Sukijan yang juga dipasrahi sebagai panitia penyelenggara untuk mengatur para wisata religi yang ikut bergabung dalam ziarah waliyullah Madura.
Pengagas acara ziarah tersebut yakni Hj. Daimah dan H. Sukijan merupakan warga jln Tambak Asri Gg 32, RT 08, RW 09, Kelurahan Morokrembangan, Kecamatan Krembangan Kota Surabaya Jawa Timur. Terkait penerjemah rangakaian acara wisata religi waliyullah atau wali – wali Madura ini di Pandu oleh ustadz Muhammad Yajidz Ali yang berpengalaman di bidang sejarah waliyullah di kepulauan Madura saat Agama Islam di sebarkan.
Sebelum rangkaian acara tersebut di mulai, ustadz Muhammad Yajidz Ali membacakan Do’a pembuka akan berlangsungnya acara stard perjalanan di mulai, setelah do’a di kumandangkan dengan khusyuk agar perjalanan awal hingga akhir dapat ridho sang yang khalik, supaya tidak terhalang musibah saat perjalanan awal hingga akhir. Selanjutnya, berlanjut memberikan tosiyah atau ceramah singkat terkait makna dan manfaatnya dalam berziarah di makam para waliyullah khususnya waliyullah di Madura. Setelah ceramah singkat berlanjut sholawatan bersama para rombongan wisa religi untuk menghibur saat proses perjalanan wisata religi waliyullah, rombongan wisata religi juga di ikuti jama’ah pengajian ibu-ibu Darussalam Tambak Asri.
(2). Sultan Abdul Kadirun adalah Pangeran di Keraton Bangkalan. Pada suatu hari Sultan berencana untuk membuat sebuah masjid di pusat Kraton Bangkalan. Nama masjid itu adalah Masjid Agung Bangkalan. Masjid Agung Bangkalan memiliki 16 menara berukuran 15 meter. Namun satu diantara menara tersebut tingginya kurang 1 meter. Sultan bingung memikirkan bagaimana cara agar menara tersebut tingginya sama dengan menara lainnya, tanpa menambal atau membongkar menara tersebut.
Lalu pada suatu hari, Sultan mengumpulkan 44 orang dari Jawa dan Madura untuk membantu membuat menara tersebut agar ukurannya sama tanpa menambal dan membongkarnya. Namun diantara 44 orang tersebut hanya Sayyid Abdullah yang berani menyanggupinya.
Sayyid Abdullah memulai pekerjaannya, ia meminta beberapa helai kain putih kepada Sultan Abdul Kadirun untuk menutupi menara tersebut. Setelah itu, Sayyid Abdullah mengajak 44 orang tadi termasuk dirinya untuk membaca Surat Al- Fatihah dan Surat Yaa Siin sebanyak 44 kali. Ketika semua orang sudah membaca, maka Sayyid Abdullah membuka kain putih yang melilit di atas menara. Lalu semua terkaget, karena ukuran menara yang awalnya lebih kecil 1 meter menjadi sama dengan menara lainnya.
Berkat usaha Sayyid Abdullah yang telah membuat ukuran menara menjadi sama, Sultan Abdul Kadirun memberinya hadiah untuk pergi ke tanah suci dengan mengendarai perahu berukuran 170 cm X 90 cm.
Ketika pulang dari tanah suci, perahu yang ditumpangi Sayyid Abdullah tenggelam. Dan ia ditolong oleh ikan besar, penduduk sekitar memanggilnya Ikan Sara.
Pada akhir hayatnya, Sayyid Abdullah berwasiat agar dirinya dimakamkan di pinggir pantai Bangkalan. Tepatnya di desa Martajasah. Dan makam itu diberi nama Bhuju’ Sara. Sampai saat ini Bhuju’ Sara menjadi salah satu wisata religius yang banyak dikunjungi di Kota Bangkalan tepatnya di Blandungan, Mertajasah, Kec. Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, masih berkunjung seputar Bangkalan yakni pesarean.
Berikut rangkaian rute ziarah waliyullah yang di kunjungi warga gang Angker Tambak Asri berserta sejarah singkatnya di awali kunjungan di pesarean Raden Rahmad :
(1). Sunan Ampel khususnya yang berkaitan dengan peran Sunan Ampel pada penyebaran Islam di di Jawa. Dewan Wali Sanga berikutnya adalah Sunan Ampel. Lahir pada tahun 1401 M, nama kecilnya adalah Raden Rahmat, beliau adalah putera dari Syekh Maulana Malik Ibrahim bapak para wali tanah Jawa dari ibu seorang puteri Raja Campa (Kamboja). Raden Rahmat melanjutkan perjuangan bapaknya dalam menegakan Islam di Tanah Jawa.
Raden Rahmat menetap di Ampel Denta (Surabaya), menurut penuturan Babad Gresik, Raden Rahmat berhasil menjadikan daerah Ampel Denta yang semula berair dan berlumpur menjadi daerah yang makmur. Di sini beliau mendirikan pesantren, sehingga Ampel menjadi pusat dakwah Islam, sehingga Raden Rahmat digelari Sunan Ampel.
Sayyid Ali Rahmatullah (Raden Rahmat)
Lahir : Tahun 1401 Masehi
Nama Ayah : Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)
Nama Ibu : Dewi Chandrawulan
Meninggal : Tahun 1478 Masehi. Setelah dari pesarean Sunan Ampel melanjutkan rute yang ke dua.
(2). Sultan Abdul Kadirun adalah Pangeran di Keraton Bangkalan. Pada suatu hari Sultan berencana untuk membuat sebuah masjid di pusat Kraton Bangkalan. Nama masjid itu adalah Masjid Agung Bangkalan. Masjid Agung Bangkalan memiliki 16 menara berukuran 15 meter. Namun satu diantara menara tersebut tingginya kurang 1 meter. Sultan bingung memikirkan bagaimana cara agar menara tersebut tingginya sama dengan menara lainnya, tanpa menambal atau membongkar menara tersebut.
Lalu pada suatu hari, Sultan mengumpulkan 44 orang dari Jawa dan Madura untuk membantu membuat menara tersebut agar ukurannya sama tanpa menambal dan membongkarnya. Namun diantara 44 orang tersebut hanya Sayyid Abdullah yang berani menyanggupinya.
Sayyid Abdullah memulai pekerjaannya, ia meminta beberapa helai kain putih kepada Sultan Abdul Kadirun untuk menutupi menara tersebut. Setelah itu, Sayyid Abdullah mengajak 44 orang tadi termasuk dirinya untuk membaca Surat Al- Fatihah dan Surat Yaa Siin sebanyak 44 kali. Ketika semua orang sudah membaca, maka Sayyid Abdullah membuka kain putih yang melilit di atas menara. Lalu semua terkaget, karena ukuran menara yang awalnya lebih kecil 1 meter menjadi sama dengan menara lainnya.
Berkat usaha Sayyid Abdullah yang telah membuat ukuran menara menjadi sama, Sultan Abdul Kadirun memberinya hadiah untuk pergi ke tanah suci dengan mengendarai perahu berukuran 170 cm X 90 cm.
Ketika pulang dari tanah suci, perahu yang ditumpangi Sayyid Abdullah tenggelam. Dan ia ditolong oleh ikan besar, penduduk sekitar memanggilnya Ikan Sara.
Pada akhir hayatnya, Sayyid Abdullah berwasiat agar dirinya dimakamkan di pinggir pantai Bangkalan. Tepatnya di desa Martajasah. Dan makam itu diberi nama Bhuju’ Sara. Sampai saat ini Bhuju’ Sara menjadi salah satu wisata religius yang banyak dikunjungi di Kota Bangkalan tepatnya di Blandungan, Mertajasah, Kec. Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, masih berkunjung seputar Bangkalan yakni pesarean.
(3). KH Kholil Bangkalan Madura, Hari Selasa tanggal 11 Jumadil Akhir 1235 H atau 27 Januari 1820 M, Abdul Lathif seorang Kyai di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, ujung Barat Pulau Madura, Jawa Timur, merasakan kegembiraan yang teramat sangat. Karena hari itu, dari rahim istrinya lahir seorang anak laki-laki yang sehat, yang diberinya nama Muhammad Kholil, yang kelak akan terkenal dengan nama Mbah Kholil.
KH. Abdul Lathif sangat berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi pemimpin umat, sebagaimana nenek moyangnya. Seusai mengadzani telinga kanan dan mengiqamati telinga kiri sang bayi, KH. Abdul Lathif memohon kepada Allah agar Dia mengabulkan permohonannya.
Mbah Kholil kecil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH. Abdul Lathif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif adalah Kyai Hamim, anak dari Kyai Abdul Karim. Yang disebut terakhir ini adalah anak dari Kyai Muharram bin Kyai Asror Karomah bin Kyai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau KH. Abdul Lathif mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati karena memang dia masih terhitung keturunannya.
Oleh ayahnya, ia dididik dengan sangat ketat. Mbah Kholil kecil memang menunjukkan bakat yang istimewa, kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan nahwu, sangat luar biasa. Bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu Nahwu) sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga kehausannya mengenai ilmu Fiqh dan ilmu yang lainnya, maka orang tua Mbah Kholil kecil mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu. Berikut alamat pesarean Syaikhona Kholil atau Syekh Kholil (Mbah Kholil), Martajasah, Bangkalan, Tajasah, Mlajah, Kec. Bangkalan, Kabupaten Bangkalan. Setelah dari makam, para wisa religi langsung meneruskan perjalanan ke Aer mata ibu yakni rute ke empat.
(4). Ratu Ibu adalah seorang wanita yang bernama Sarifah Ambani. Wanita keturunan dari Sunan Giri ini adalah seorang istri yang sangat taat, patuh dan sangat mencintai suaminya, Raja Cakraningrat. Raja Cakraningrat adalah seorang raja yang sangat dihormati dan diagungkan oleh masyarakat Madura pada saat itu. Raja Cakraningrat memimpin Madura pada tahun 1624 atas perintah Sultan Agung dari Mataram.
Raja Cakraningrat terkenal akan kepandaiannya, kepawaiannya, dan tenaga yang kuat untuk menjadi seorang pemimpin. Maka, Sultan Agung Mataram membutuhkan jasa Raja Cakraningrat untuk membantunya membangun Mataram. Sehingga, Ratu Ibu sering ditinggal oleh suami tercintanya. Perasaan sedih pun melanda Ratu Ibu, walaupun istri seorang raja, tapi hatinya adalah hati wanita biasa. Hampir siang malam beliau sedih karena ditinggal suaminya bertugas ke Mataram.
Ratu Ibu memilih untuk bertapa ketika perasaan sedih mengguncang dirinya. Dalam pertapaannya, Ratu Ibu meminta kepada Yang Maha Kuasa agar suaminya tetap sehat dan agar kelak tujuh turunannya bisa menjadi pemimpin dan penguasa Madura.
Hingga suatu hari saat Raja Cakraningrat pulang ke Madura, perasaan Ratu Ibu pun berbunga-bunga.
Selain senang karena suaminya pulang, Ratu Ibu juga bercerita dirinya bertapa dan berdoa agar tujuh keturunanya menjadi pemimpin Madura. Namun, bukannya rasa senang atau pun pujian yang diucapkan oleh Raja Cakraningrat, tetapi justru kemarahan dan kekecewaan. Raja Cakraningrat kesal karena istrinya hanya berdoa agar tujuh turunannya yang menjadi raja. Sebab, Raja Cakraningrat ingin semua keturunannya menjadi pemimpin Madura.
Mendengar hal tersebut Ratu Ibu pun sedih dan merasa bersalah. Saat suaminya kembali ke Mataram untuk bertugas, Ratu Ibu kembali ke pertapannya di Desa Baduran. Saat bertapa Ratu Ibu terus menangis tanpa henti, hingga konon air matanya membanjiri tempat pertapannya. Hal tersebut terus berlangsung hingga beliau wafat. Terletak di Desa Buduran, Arosbaya, Makam Air Mata, Buduran, Bangkalan, Kabupaten Bangkalan. Meski melelahkan dalam perjalanan ziarah tersebut, namun antusias para pengemar wisata religi ini tidak menghiraukanya lantaran ada waktu untuk mengisi lelah saat perjalanan yakni bus berhenti untuk memberi kesempatan para wisata untuk membeli minum dan makanan
Setelah itu melanjutkan perjalanan di rute yang kelima.
(5). yaitu ke pesarean Batu Ampar juga masih seputar Bangkalan, Istilah Batu Ampar sendiri berasal dari Bahasa Madura yaitu “Bato” yang berarti batu dan “Ampar” yang berarti berserakan namun teratur seperti halnya permadani yang dihamparkan. Di kompleks makam ini terdapat 6 makam aulia atau wali Allah yang dalam Bahasa Madura disebut Bujuk. Mereka adalah makam Syekh Abdul Manan (Bujuk Kosambi), Syekh Basyaniyah (Bujuk Tumpeng), Syekh Abu Syamsudin (Bujuk Lattong), Syekh Husen, Syekh Moh. Romli dan Syekh Damanhuri. Karomah dari tempat ini dipercaya akan mendatangkan keberkahan bagi para peziarah yang telah berkesempatan berdoa di tempat ini. Sebelum melanjutkan di rute yang ke enam, para pengeliat rombongan wisa religi waliyullah atau wali-wali Madura yang di Kordinatori Hj. Daimah, sempat terhenti untuk melanjutkan keesokan harinya, Senin pagi pukul 07 wib (04/03/2019). Dan beristirahat semalem di Masjid Jami yakni diruang pendopo yang sudah di sediakan oleh pengurus Masjid Jami untuk para peziarah atau para pengeliat sejarah yang kemalem saat berkunjung, khususnya para wisatawan.
Masjid Jami ini merupakan masjid yang bisa terbilang paling tua terbukti pembangunan masjid ini telah dirintis sejak masa Pangeran Natasukuma I atau Panembahan Somala berkuasa pada abad ke-18. Masjid ini awalnya hanya berukuran kecil. Pada saat awal bangunan tersebut dikenal dengan nama Masjid Laju. Masjid tersebut dibangun oleh adipati ke-21 Sumenep, yakni Pangeran Anggadipa. Masjid Agung Sumenep ini tercatat sebagai salah satu masjid tertua yang ada di Indonesia. Pembangunan masjid ini telah dirintis sejak masa Pangeran Natasukuma I atau Panembahan Somala berkuasa pada abad ke-18.
Masjid Agung, Masjid Kelima Terpenting di Dunia Sekitar 1779 Masehi, Pangeran Natakusuma menitahkan untuk membangun masjid yang lebih besar. Untuk menghadirkan masjid yang diinginkan, sang penguasa menunjuk seorang arsitek Cina, Lauw Piango. Proses pembangunan masjid dimulai pada 1198 Hijriah atau 1779 Masehi. Sementara proses pembangunan masjid ini baru usai pada 1206 H atau 1787 M.
Sementara itu, hal yang cukup unik dari masjid ini adalah peninggalan pedang. Letaknya di atas kubah. Selain itu, terdapat juga sebuah batu giok. Berat batu giok ini kabarnya 20 kilogram. Namun, tak begitu jelas sejak kapan batu giok itu berada, apakah bersamaan dengan proses pembangunan masjid atau hadir setelah masjid tersebut dibangun. Melanjutkan rute yang ke enam,
(6). Pada tahun 1212Hijriah (tahun 1791 Masehi) Raja Sumenep Sri Sultan Abdurrahman beserta rombongan berangkat dari Keraton Sumenep Madura, untuk menyebarluaskan Agama Islam ke pulau Bali
Setibanya di kalianget karena hari telah sore, maka beliau terpaksa bermalam sekitar jm 24.00 Sri Sultan Abdurrahman tiba – tiba terkejut dikarenakan melihat sinar atau cahaya yang sangat terang dan seakan – akan jatuh dari langit ke bumi sebelah timur pelabuhan atau di pulau Poteran, desa Talango Sumenep.
Setelah selesai sholat subuh sri sultan dgn pengikutnya naik perahu menuju pulau tersebut untuk mencari tanda jatuh nya sinar tersebut.
Setibanya sampai di pulau Poteran Sri Sultan Abdurahman masuk hutan lalu mndapatkan tanda yang meyakini seakan – akan kuburan (makam) baru lalu beliau memberi salam setelah itu salam tersebut yang di ucapkan Sri Sultan Abdurahman di jawab dengan nada suara keras, akan tetapi suara salam tersebut tidak ada seorangpun yang menampakkan diri.
Selanjutnya Sri Sultan Abdurahman ingin mengetahui suara tersebut maka beliau bermunajat memohon kepada agar di beri pentujuk ishoro siapakah yang tadi menjawab salamnya, lalu tiba tiba ada lontar atau daun jatuh tepat di hadapannya dan setelah di perhatikan daun tersebut tertulis dengan tulisan arab sebagai berikut…( HADZA MAULANA SAYYID YUSUF BIN ALI BIN ABDULLAH ALHASANI )
Selanjutnya Sri Sultan Abdurahman lalu memasang batu nisan, dengan di beri nama sebagai mana yg terdapat tertulis pada daun tersebut.
Setelah selesai malanjutkan perjalanannya, sebelum brangkat tongkat beliau di tancapkan dekat kuburan atau pesarean Sayyid Yusuf dan tongkat tersebut hidup sampai sekarang dan menjadi pohon yang besar yang rindang.
Sekitar kurang lebih setahun, kemudian Sri Sultan Abdurahman mendatangi lagi kuburan Sayyid Yusuf ,membangun pendopo disekitar kuburan tersebut & juga termasuk Masjid Jami di kecamatan Talango, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Setelah rute ke enam melanjutkan ke pesarean Bindara Saut yang masih seputar wilayah Sumenep,
(7). Bindara Saut diperkirakan lahir di awal kurun 1700-an Masehi. Tidak ada petunjuk lisan maupun tulisan mengenai hari, tanggal, hingga tahunnya. Hanya, peristiwa sebelum kelahirannya dikenal melegenda. Dan terus menjadi perbincangan dengan diceritakan turun-temurun.
Syahdan, di suatu waktu, Bindara Bungso memanggil isterinya yang bernama Nyai Nurima atau Nairima. Saat itu Nyai Nurima tengah hamil tua.
Saat dipanggil, Nyai Nurima tengah shalat. Sehingga panggilan sang suami tak bisa dijawabnya. Setelah berkali-kali tak ada sahutan, tiba-tiba terdengar suara anak kecil yang menjawab panggilan Bindara Bungso, “ibu masih shalat, wahai ayah”.
Sontak, Bindara Bungso tertegun. Beliau mencari arah datangnya suara tersebut. Namun yang dijumpainya hanya sang isteri yang baru saja mengucapkan salam sehabis shalat. Lantas Bindara Bungso bertanya pada Nyai Nurima.
“Siapa anak yang barusan menjawab panggilanku?”.
Anak di dalam kandunganku, ini,” jawab Nyai Nurima, pasti.
Peristiwa tersebut yang konon menjadi latar belakang pemberian nama Saut. Karena sudah bisa menyahut sejak dalam kandungan. Sebuah karomah luar biasa, yaitu karunia kemuliaan dari Allah SWT pada seseorang sebelum ia bertaqwa. Lidah Madura lantas menyebutnya Saot. Sehingga putra Bindara Bungso dengan Nyai Nairima itu dikenal dengan sebutan Bindara Saut atau Bindara Saot. Bindara adalah paduan kata arab bin. Setelah rute pesarean Bindara Saut, berlanjut ke rute yang terakhir yaitu ke delapan makam Pangeran Hamsah.
(8). pesarean pangeran Hamsah Sumenep (Asta tinggi), Jalan Raya Asta Tinggi, Desa Kebunagung, Kecamatan Kota Sumenep, Temor Lorong, Kebunagung, Kota Sumenep,
Pangeran Le’nan lahir dengan nama Raden Bagus Mohammad Hamzah. Tidak ada catatan mengenai tahun, bulan, maupun tanggal lahirnya. Ayahnya, Sultan Sumenep yang naik tahta pada 1811 M. Ibunda sang pangeran merupakan garwa selir. Jadi Pangeran ini tak lahir dari isteri utama. Meski menurut sebagian riwayat mengatakan beliau anak laki-laki tertua, posisinya masih lebih kuat adiknya, Raden Bagus Mohammad Saleh (kelak bergelar Panembahan Natakusuma II), yang lahir dari garwa padmi atau permaisuri. Sehingga konon, Sultan Sumenep tidak menunjuk secara resmi siapa putra mahkota penggantinya. Beliau hanya memberi sebuah isyarat dalam bentuk wasiat.
Panglima Perang yang Diutus ke Aceh. Dalam beberapa literatur Sumenep, Pangeran Le’nan merupakan satu di antara empat anak laki-laki Sultan Sumenep yang ditunjuk sebagai pemimpin angkatan perang. Tiga lainnya ialah Pangeran Kolonel atau Kornel Kusumo Sinerrangingalaga, Pangeran Letkol Kusumosinerrangingyuda, dan Pangeran Mayor Candraningprang.
Di antara keempat bersaudara itu Pangeran Le’nan yang tertua sekaligus dikenal kepiawaiannya di bidang seni perang. ”Beliau juga dikenal sebagai putra Sultan yang paling linuih,” kata R. Alimuddin, salah satu keturunan Pangeran Le’nan. Berbagai ekspedisi perang diembankan pada Pangeran Le’nan. Salah satu yang terkenal ialah ekspedisi perang ke negeri Aceh serambi Mekah.
Setelah rute ke delapan wisata religi berakhir dilakukan warga gang angker, para rombongan wisata religi besafari melancong ke tempat lokasi wisata Api tak Kunjung Padam yang tepatnya di Jalan Api Alam,Kubungan, Genteng, Konang, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur. Sebelum tiba merapat ke wisata Api tak Kunjung Padam, ustadz Muhammad Yajidz Ali berdoa penutup setelah doa, ustadz berpesan kepada rombongan saat perjalanan berziarah ke pesarean para waliyullah khususnya di Madura. “Dalam perjalanan berziarah mari kita ambil hikmahnya yang positif dan yang negatif mari kita buang jauh-jauh, membuang yang negatif niscaya kita akan mendapatkan keberkahan dari Alloh SWT.
Masih kata ustadz, uang kita keluarkan saat proses perjalanan berziarah ke makam para waliyullah, bakal di kembalikan berlipat ganda oleh Alloh SWT. (tok)